Twitter Facebook Delicious Digg Stumbleupon Favorites More

Saturday, February 13, 2016

Kisah Tsabit bin Ibrahim Yang Saleh dan Jujur

Cerita ini adalah kisah yang terjadi pada zaman dulu dimana waktu itu ada seorang pemuda yang saleh dan jujur bernama Tsabit bin Ibrahim sedang melakukan perjalanan di pinggiran kota Kufah. Saat melintasi sebuah kebun, dia melihat ada pohon apel besar yang sedang berbuah lebat dan sangking besarnya pohon tersebut sampai-sampai dahannya yang berbuah itu menjulur ke luar pagar. Timbul niat Tsabit untuk memetiknya karena rasa lapar dan haus yang dialaminya namun niat itu diurungkannya karena mengingat bahwa pohon apel itu bukanlah miliknya dan tentu hal itu termasuk dalam arti mencuri.

Saat akan melanjutkan perjalanan, secara tak sengaja Tsabit bin Ibrahim melihat ada sebuah apel tergeletak di jalan. Karena apel itu adalah apel jatuh, ia berpikir akan halal baginya untuk memakan apel tersebut karena ia mencuri dari pohonnya. Lantas dimakannya buah itu.
Saat baru termakan separuh, Tsabit tersadar bahwa apel itu bukan miliknya. Walaupun apel tersebut tergeletak di jalan, yang pasti apel itu berasal dari pohon yang terdapat dalam kebun itu. Ia pun mencari pemilik kebun apel itu.
Dan ketika ia melihat seorang laki-laki di dalam kebun, ia menghampiri dan bertanya, "Apakah engkau pemilik kebun ini? Saya telah memakan apel ini separuh, untuk itu saya mohon maaf dan ini masih ada tersisa separuh lagi. Sudilah kiranya engkau merelakan apel ini agar halal untuk kumakan," pinta Tsabit.

Ternyata lelaki itu bukan pemilik kebun, ia hanya penjaga kebun sementara majikanya tinggal di tempat yang cukup jauh dari kebun itu.
"Butuh waktu yang lama untuk sampai ke rumah majikanku. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia adalah saudagar kaya dan tidak akan mempermasalahkan sebuah apel itu karena hasil kebunnya begitu melimpah ruah." usul si penjaga kebun.
"Sejauh apa pun rumahnya, aku harus tiba di sana meskipun harus melalui berbagai rintangan. Separuh apel ini sudah aku telan, artinya di dalam tubuh ini terdapat makanan yang tidak halal bagiku karena belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, "Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram maka api nerakalah yang layak baginya" kata Tsabit bin Ibrahim tegas.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang, sampailah Tsabit bin Ibrahim di rumah pemilik apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang lelaki membukakan pintu untuknya.
Setelah bertanya dan mengetahui bahwa lelaki itulah yang memiliki kebun apel, Tsabit pun menyampaikan maksud kedatangannya. "Wahai Tuan, kedatangan saya ke sini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang terlanjur aku makan separuh dan ini masih ada separuh lagi sambil menunjukkan sisa apel. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menjelaskan apa yang merisaukannya kepada si pemilik kebun.

Mendengar penjelasan Tsabit, saudagar itu berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"
"Apakah itu, Tuan?"
"Kamu harus menikahi putriku dan aku akan menghalalkan apel itu untukmu."
Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Karena ia harus menebus kesalahannya dengan sebuah pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, pemilik kebun apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kamu menyanggupinya?"

Tsabit bin Ibrahim makin terkejut. Ia harus menikahi perempuan cacat yang akan mendampinginya seumur hidup hanya gara-gara memakan separuh buah apel. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Jika jalan ini dapat membuka pintu ampunan Allah SWT, ia harus menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.

Singkat cerita, pernikahan pun diselenggarakan. Mempelai wanita menanti di dalam rumah saat akad nikah berlangsung. Selesai dilakukan akad nikah, Tsabit bin Ibrahim dipersilakan oleh sang mertua untuk menemui putrinya yang kini telah sah menjadi istri Tsabit.

Ia mengetuk kamar yang ditunjuk sambil mengucapkan salam. Ketika Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar suara wanita menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu karena yang ia tahu istrinya bisu, tuli, buta, dan lumpuh.
"Oh, maaf, aku salah kamar!" ujar Tsabit.
"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata wanita di dalam kamar itu, "Silakan masuk, wahai suamiku!"
Ketika Tsabit masih berdiri tertegun di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka adalah seorang wanita cantik yang sehat tanpa cacat seperti yang dikatakan mertuanya.

Tsabit bertanya kepada wanita yang berdiri di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kamu bisa melihat?"
"Ayahku benar, mataku buta karena tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun itu.

"Lalu, mengapa ayahmu mengatakan kamu tuli? Padahal, kau dapat mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.
"Itu juga benar, beliau tahu bahwa aku tidak pernah mau mendengar berita atau cerita yang tidak diridhai Allah." jelas sang istri.

"Kau pun tidak bisu seperti yang dikatakan ayahmu? Apa artinya?"
"Aku bisu karena tidak pernah mengatakan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."

"Dan apa maksud ayahmu mengatakan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi.
"Itu karena aku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah." Jawab putri pemilik kebun.

Betapa bahagianya Tsabit bin Ibrahim bahwa yang ia nikahi adalah sosok wanita salehah yang sempurna fisiknya dan cantik bak purnama di kegelapan malam. Demikianlah kisah tentang seorang pemuda yang saleh dan jujur. Karena kejujurannya dan rasa takut akan dosa, sehingga harus rela menempuh perjalanan yang jauh untuk mendapatkan izin dari pemilik kebun apel yang dimakannya.
Berkat kejujurannya itu pulalah ia mendapat berkah menikahi istri yang cantik dan saleha pula. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam terbesar bagi umat Islam, yaitu Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.

Share:

Thursday, February 11, 2016

Wahai Akhi, Haruskah Aku Yang Melamarmu

Assalamualaikum sahabat islami , mohon dibaca dengan kesungguhan hati.



AKHIY... MAUKAH MENIKAH DENGANKU?


Dulu ana datang ke suami ana, justru ana yang menawarkan diri ke suami.

''Akhiy maukah menikah dengan ana?'', tawarku padanya.


Waktu itu dia masih kuliah smester 8. Dia cuma bengooonggg seribu bahasa, serasa melayang di atas awan, seolah waktu terhenti. Beberapa saat setelah setengah kesadarannya kembali dan setengahnya lagi entah kemana, dia berucap,

'''Afwan ukh... anti pengen mahar apa dari ana?'' "Cukup antum bersedia menikah denganku saja itu sudah lebih dari cukup"

Bak orang awam mendaki gunung yang tinggi lagi extreme, ehhh... dianya langsung lemesss... kayak pingsan. Besoknya datang nazhar, terus khitbah. Lalu untuk ngumpulin uang buat nikah, dia jual sepeda dan jual komputernya... untuk mahar dan biaya nikah. Di awal pernikahan dia gak punya pendapatan apa-apa. Kita usaha bareng dan ana gak pernah nanya seberapa pendapatnya ataupun dia kerja apa. Selama ana nikah dengannya ana belum pernah minta uang. Hingga kinipun kalo gak dikasih ya diam. Saat beras habis... ana gak masak. Saat dia nanya, "koq gak masak beras dek?"

"Habis mas", jawabku

"Koq gak minta uang?", lanjutnya.

Ana gak jawab, takut suami gak punya kalo ana minta. Jadi ana takut menyinggung perasaan kekasih hatiku.. weee.


Kalo kita menghormati suami, maka suami akan menyayangi kita lebih dari rasa sayang kita ke dia. Bahkan usaha sekarang dah maju pesat... alhamdulillah. Ibarat kata uang 50jt dah hal biasa. Lalu suatu hari ana tawarkan dia nikah lagi namun dia gak mau. Katanya ana itu tidak ada duanya... hehehe ngalem dewek. Walaupun ortunya dulu gak ridho dengan ana, karena salafi... sekarang sudah baikan.

Rezeki bisa dicari bersama. Bagi ana usaha yang dicari bersama suami susah-payah bersama, setelah sukses... maka banyak kenangan manis yang tak terlupa. Kita jadi saling memahami dan mengerti karakter masing-masing karena kita sering berinteraksi.

"Suamiku adalah temen curhatku...

suamiku adalah patner bisnisku...

suamiku adalah ustadz tahsinku...

suamiku adalah temen seperjuanganku...

suamiku adalah sahabatku...

suamiku adalah temen mainku...

suamiku adalah temen berantemku...", itulah kiranya yang ana rasakan darinya, setelah 12 tahun menikah dan insya Alloh dikaruniai anak 7 semoga semakin menambah keberkahan dalam rumahh tangga ana...

Dan bukan hal yang hina bagi ana kalo ada seorang akhawat datang menawarkan diri ke ikhwan. Ana dulu hanya melihat dari bacaan al-Qur'annya yang bagus dan dia sangat menjaga sholatnya itu aja gak lebih. Jadi para akhawat yang belum menikah... apa yg menghalangi anda untuk menikah muda? Apa karena melihat pendapatan materi dari ikhwan yang menghalaginya?


*Seorang ibu yang menceritakan kisah cintanya

*Dengan sedikit perubahan

Demikian Renungan harian "Wahai Akhi , Haruskan Aku Yang Melamarmu" semoga bisa bermanfaat dan mohon untuk sebarkan sobat islami.

wassalam
Share:

Jangan Nikahi Perempuan Ini Untuk Sementara

Menikah memang kewajiban. Namun, tidak bisa kita sembarang memilih orang untuk dinikahi. Termasuk perempuan yang akan dinikahi pun harus kita ketahui pula boleh tidaknya untuk dinikahi. Sebab, dalam Islam, hal ini sudah diatur dengan baik. Nah, untuk sementara waktu, ada perempuan-perempuan yang tidak boleh Anda nikahi. Siapa sajakah mereka?


1. Saudara perempuan istri hingga istri tersebut dicerai dan masa iddahnya habis atau ia meninggal dunia. Karena Allah Ta’ala berfirman, “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,” (QS. An-Nisa: 23).


2. Bibi istri, baik bibi dari jalur ayah atau bibi dari jalur ibu. Jadi, ia tidak boleh dinikahi hingga istri tersebut dicerai dan masa iddahnya habis atau meninggal dunia. Karena Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah SAW melarang seorang perempuan dinikahi beserta bibi dari jalur ayahnya atau bibi dari jalur ibunya,” (Muttafaq alaih).


3. Perempuan yang bersuami. Jadi ia tidak boleh dinikahi hingga ia dicerai suaminya, atau menjanda dan masa iddahnya habis. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami,” (QS. An-Nisa: 24).


4. Perempuan yang sedang menjalani masa iddah karena perceraian, atau suaminya meninggal. Jadi, ia haram dinikahi dan dilamar hingga masa iddahnya habis. Tapi, tidak ada salahnya menyindir perempuan tersebut, misalnya dengan berkata kepadanya, “Aku tertarik kepadamu.”

Sebab Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun,” (QS. Al-Baqarah: 235).


5. Perempuan yang telah ditalak tiga, hingga ia menikah dengan suami lain dan berpisah dengannya karena perceraian atau suaminya meninngal dunia, dan setelah masa iddahnya habis. Karena Allah Ta’la berfirman, “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain,” (QS. Al-Baqarah: 230).


6. Perempuan yang berzina hingga bertaubat dari zina dan diketahui betul-betul taubat. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi melainkan oleh yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin,” (QS. An-nurr: 3).


Dan karena Rasulullah SAW bersabda, “Laki-laki pezina yang telah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan perempuan seperti dirinya,” (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud). []


Referensi:
Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah
Share:

Cari Artikel Di Sini.

Advertice

loading...

Recent

Kitab AlHikam

WebAris.Id

Copyright © Irsyah Putra
Author by Healthy Life | Support by WebAris.Id