Twitter Facebook Delicious Digg Stumbleupon Favorites More

Wednesday, May 29, 2013

Ayah! kenapa engkau tidak pergi berjihad?

Seorang anak perempuan yang masih kecil berumur sekitar tujuh tahun datang kepada bapanya, dia bertanyakan suatu soalan: "Wahai ayah kenapa engkau tidak pergi berjihad?" Ayah anak perempuan kecil ini hairam dengan soalan itu, dan dia ingin mengujinya, maka dia bertanya: "Nak! Jika aku pergi untuk berjihad, boleh jadi ayah nanti akan terbunuh, dan kamu nanti tidak mempunyai bapa seperti kanak-kanak yang lain". Maka mujahidah kecil itu menjawab: "Jika engkau terbunuh maka itu yang utama, kerana engkau akan menjadi seorang syuhada 'dan masuk jannah dan kita akan masuk jannah bersama-sama".


Inilah iman yang kuat dan fitrah yang bersih serta bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT yang telah tertanam di dalam diri dan sikap kanak-kanak perempuan kecil itu, dia itulah yang kita perlukan hari ini di dalam mendidik kanak-kanak lelaki-lelaki dan perempuan kita. Kita ingin mendidik mereka dengan tarbiyah iman dan jihad.

Maka kita mulai dengan menanamkan aqidah yang benar, yang tidak ada penyakit dan tidak ada penyelewengan dari orang-orang yang bersikap toleran dan kaum munafik. Serta mengajar mereka agama yang benar sebagaimana yang telah dibawa oleh Nabi SAW. Kemudian kita menanamkan dalam diri mereka bahawa mereka adalah sebahagian daripada kesatuan umat Islam ini dan mereka adalah harapan umat ini setelah Allah di dalam menyelamatkan dan mengangkat umat dari cengkaman cakar-cakar kehinaan dan kenistaan ​​serta menyatakan permusuhan secara terang-terangan terhadap umat-umat kafir di muka bumi pada zaman ini. Diharapkan mereka dapat mengembalikan kemuliaan dan kekuatan serta puncak kejayaan umat Islam pada zaman ini.


Penting juga kita mempersiapkan mereka baik dari segi fizikal mahupun mental sehingga mereka harus dilatih tentang cara memegang senjata, berani, dan bertempur mati-matian di medan perang serta mencari kesyahidan di jalan Allah, bahawa semua itu adalah sebagai bentuk mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah yang paling utama.

Kita ingin menghantarkan mereka hingga sampai pada tahap di mana dia menyerap seluruh makna-makna kemuliaan dan jihad sehingga hiduplah salah satu dari mereka menjadi seorang yang mulia, mujahid, bangga dengan agamanya, pembela umatnya, bahkan dia bangga bahawa dia adalah seorang mujahid yang ditakuti oleh orang-orang kafir dan munafik.

Kita memohon kepada Allah untuk memberikan kebaikan kepada kanak-kanak kita dan menjadikan kita serta mereka termasuk dari para mujahid di jalan Allah. Memberikan rezeki kepada kita dan mereka dengan kesyahidan serta mengumpulkan kita di Firdausil A'la


Share:

Kisah Thayub, Saat Muslim Rohingya 'Mengejar' Australia

DETIK ISLAMI - DARI REPUBLIKA.CO.ID,Mohammad Thayub (42 tahun) pindah dari Myanmar sejak 1988. Pria paruh baya ini membawa serta istrinya untuk keluar dari negeri yang penuh konflik itu. Menurutnya, Rohingya memang berdarah sejak pemerintah junta militer memberlakukan kebijakan diskriminasi pada 1977.
 
Selama 11 tahun hidup di negara tersebut, banyak penyiksaan yang dialami suku muslim Rohingya. Mulai dari pemukulan, perampasan harta, penembakan, pembakaran rumah hingga memperkosa perempuan dari suku muslim itu.


Biasanya tindakan brutal terhadap suku muslim Rohingya dilakukan pada malam hari dan ia beserta keluarganya sudah terbiasa untuk bersembunyi dari kejaran tentara maupun kelompok masyarakat mayoritas Myanmar pada malam hari.

"Dulu sudah biasa keluar dan masuk hutan. Makanya ada kebijakan itu sama saja untuk menghabisi suku kami," tuturnya saat berbincang dengan Republika, di rumah detensi imigran (Rudenim) Denpasar, Bali, Selasa (28/5) dengan Bahasa Indonesia yang lancar.

Kebijakan itu, lanjutnya, merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang sangat diskriminatif bagi suku muslim Rohingya. Bahkan untuk menikahi istri kedua, warga suku muslim Rohingya diharuskan membayar denda atau dikurung penjara selama enam bulan.

Dengan berbagai perlakuan diskriminatif tersebut, ia pun memutuskan untuk kabur dari negara itu pada 1988. Dia tinggal selama bertahun-tahun di Malaysia dengan harapan kehidupannya akan menjadi lebih baik karena tinggal di negara dengan mayoritas penduduknya muslim seperti dirinya.

Namun hingga ia sudah memiliki empat orang anak, kehidupannya pun tak kunjung membaik. Pemerintah Malaysia, menurutnya tidak memperhatikan kehidupan bagi imigran sepertinya. Empat orang anaknya juga tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan di negara itu.

"Saya tidak ingin kalau saya mati, anak-anak saya tidak jelas hidupnya. Saya mendengar kabar dari saudara di Australia mendapat hidup yang lebih baik, makanya saya dan keluarga mau ikut ke sana," jelasnya.
Bersama keluarga, dia pun mulai mencari agen-agen untuk mengantar berlayar secara ilegal memasuki negeri kanguru itu pada 2012 lalu. Ia menemukan agen tersebut dan meminta bayaran sebesar 10 ribu Ringgit Malaysia per orang atau sekitar Rp 30 juta.

Uang yang diminta agen tersebut sudah dibayarkan. Waktu pemberangkatan juga sudah ditentukan. Hingga kemudian berlayar menuju Australia. Hanya, belum sampai perbatasan antara Indonesia dan Australia di Samudera Hindia, sang nakhoda melarikan diri.

Padahal saat itu di kapal terisi sebanyak 67 orang imigran gelap seperti  dan tidak ada yang mengetahui cara mengemudi kapal. Setelah terombang-ambing di lautan, duabelas orang di antaranya meninggal karena kelaparan dan kekurangan cairan.
Hingga akhirnya perahu yang ditumpanginya ditemukan pihak kepolisian dan ditampung di Rudenim Denpasar.

"Saya sedang menunggu proses dari UNHCR (Badan PBB untuk masalah pengungsian). Saya berharap dapat tinggal di Australia. Keluarga di sana sudah bisa bekerja dan mendapat kewarganegaraan," ucapnya sambil menggendong anak kelimanya yang berusia 1 bulan 2 hari ini.
Share:

Pasukan Israel Menahan Penjaga Masjid Al-Aqsha

DETIK ISLAMI - NEWS DUA orang petugas keamanan Israel menyerbu masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsha pada hari Selasa kemarin (28/5/2013) dalam upaya untuk mengganggu restorasi yang sedang berlangsung di dalam masjid, saksi mata mengatakan.

Saksi mata mengatakan kepada kantor berita Ma’an bahwa petugas Israel itu mencoba mengakses masjid al-Aqsha tapi penjaga melarang mereka. Dua petugas itu kemudian melepas sepatu mereka di luar dan mendorong penjaga ke samping sebelum akhirnya masuk ke dalam masjid.


Petugas Israel mencoba untuk mengakses ke situs sehari sebelumnya, saksi mata tersebut menambahkan.
Salah satu petugas memberi peringatan kepada penjaga masjid Muhammad Alqam agar mengunjungi kantor polisi hari itu juga, sambil menyita KTP miliknya.
Pasukan Israel juga menahan penjaga lain, Samer Qweider, dengan tuduhan melarang pemukim yahudi melakukan ibadah di komplek masjid.

Yayasan Al-Aqsha melaporkan bahwa setelah penahanan dua penjaga masjid, sekelompok warga yahudi menyerbu kompleks masjid al-Aqsha.
Yayasan Al-Aqsha mengutuk keras penangkapan penjaga masjid tersebut dan mengatakan bahwa yayasan akan membela dia. Yayasan juga menyerukan adanya reaksi dunia Arab dan Islam terhadap apa yang sedang terjadi.
Share:

Warga Muslim Dan Buddha Dilaporkan Bentrok Di Utara Myanmar

DETIK ISLAMI - NEWS WARGA Muslim dan Buddha bentrok di kota utara Myanmar Lashio pada Selasa kemarin (28/5/2013), menurut pernyataan saksi mata, pada saat gelombang kekerasan sektarian mulai mencapai wilayah pegunungan di dekat perbatasan Cina.

Saluran telepon terputus di kota berpenduduk sekitar 131.000 orang tersebut dan tingkat kekerasan yang terjadi di sana masih belum jelas. Saksi mata melaporkan terjadi beberapa kebakaran besar dan mengatakan sebuah masjid dan kuil Buddha tampaknya telah dibakar.

Kerusuhan itu terjadi setelah kerusuhan antara Muslim dan Buddha di bagian lain dari Myanmar selama satu tahun terakhir, termasuk bentrokan di pusat kota Meikhtila pada bulan Maret lalu yang menewaskan sedikitnya 44 orang, kebanyakan Muslim, dan menghancurkan beberapa lingkungan Muslim. Dilaporkan sekitar 12.000 orang harus kehilangan rumah mereka akibat bentrokan tersebut.
Lashio, ibukota Negara Bagian Shan, sebenarnya terhindar dari kerusuhan agama. Kota ini dikenal karena pengaruh Cina yang kuat, letaknya sekitar 190 km (120 mil) dari Muse, sebuah kota Myanmar di perbatasan Cina.

Hajji Aung Lwin, seorang pria Muslim dari sebuah desa di pinggiran Lashio, mengatakan bentrokan dimulai setelah terjadinya pertengkaran berujung kekerasan antara seorang pria Muslim dan seorang wanita Buddha. Setelah polisi menahan pria itu, umat Buddha setempat mengepung kantor polisi dan menuntut dia diserahkan kepada mereka.

Massa kemudian mencoba membakar Masjid Myoma, dekat pasar Lashio, ujarnya. Seorang saksi mata melaporkan telah melihat api di kota dan bangunan besar terbakar.
Bentrokan sektarian antara umat Buddha dan Muslim, yang membentuk sekitar 5 persen dari populasi di negara berpenduduk mayoritas Buddha, telah meletus beberapa kali sejak pemerintah sipil mengambil kekuasaan pada Maret 2011 setelah lima dekade diperintah oleh diktator militer.
Share:

Kisah Mualaf Cilik: Papa-Mama...Rio Tunggu di Pintu Surga.....

Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekadar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan mengguncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja. Martono heran.

Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama. Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Nggak, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhir.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Suara Gaib, Menghajikan Pembantu, dan Bertemu Rio di Mekkah
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”

Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia di sini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Mama Menjadi Mualaf
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.

“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala risiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal.

Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu.

Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam. Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah.

SUBHANALLAH
semoga kita bisa mengambil hikmah nya . AAMINNN
Share:

Tiga Tentara Lebanon Tewas Di Dekat Perbatasan Suriah


DETIK ISLAMI - NEWS  
TIGA tentara Lebanon tewas dekat perbatasan Suriah oleh sekelompok orang bersenjata Senin malam kemarin (27/5/2013), seorang pejabat keamanan mengatakan kepada kantor berita AFP.
“Tiga tentara tewas oleh sekelompok pria bersenjata saat mereka berada mengendarai kendaraan di wilayah Arsal,” sebuah kota di timur laut Lebanon di mana sebagian besar penduduknya mendukung pejuang oposisi di negara tetangga mereka Suriah.


Seorang sumber keamanan mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dua tentara tewas dalam serangan itu, dekat kota Arsal, dan yang ketiga tewas setelah berada di rumah sakit.
Daerah perbatasan di sekitar Arsal digunakan oleh pejuang Suriah untuk melawan Presiden Bashar al-Assad dengan menyelundupkan senjata dan pejuang dari Lebanon ke seluruh wilayah Suriah, dan wilayah itu telah menyaksikan bentrokan antara militer Lebanon dan kelompokorang bersenjata.
“Sekitar 3:30 pagi, posisi militer di Wadi Hmayyed-Arsal diserang oleh kelompok bersenjata menggunakan Jeep hitam,” kata pernyataan militer.
“Para prajurit di pos pemeriksaan berhadapan dengan para penyerang, bentrokan terjadi dan tiga tentara tewas,” tambahnya.
Share:

Ustadz Adnan Arsal: ‘Muslim Poso Membela Haknya Kenapa Disebut Teroris?’

Kedamaian di Poso pudar sejak 1998, sejak polisi tidak lagi menegakkan hukum, sejak tentara membiarkan umat Islam dibantai. Namun anehnya, ketika Muslim Poso bangkit, membela haknya, mereka malah dituding sebagai teroris. Lantas apa akar masalahnya? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua Forum Perjuangan Umat Islam Poso Ustadz Adnan Abdurrahman Saleh (Arsal). Berikut petikannya.


Tanggapan Anda terhadap kasus salah tangkap 14 orang di Poso?
Kemarin ketika Kapolri ke Poso saya langsung protes. Saat itu, Kapolri datang didampingi Panglima TNI dan Kepala BIN. Saya katakan bahwa polisi itu pengecut! Tidak masuk akal ini! Mengapa Brimob ketika ditembak, tidak mengejar penembak? Malah kembali ke masyarakat dan menangkap 14 orang warga itu.
Brimob memukuli mereka hingga babak belur, ada yang patah tulang rusuknya, berbiru-biru muka, mata bengkak, jadi babak belur masyarakat. Brimob pun memaki mereka dengan perkatakan yang sangat kasar, “Kamu ini semua binatang, anjing, babi.”  Mereka pun dibawa ke Polres Poso, ditahan tujuh hari, keluarganya tidak boleh menengok.
Ini pendidikan macam apa yang diberikan polisi di Poso? Polisi itu penegak hukum tetapi malah melanggar hukum juga. Harus dituntut dong. Pak Kapolri harus mengusut. Kalau prajurit melakukan itu, saya katakan, tidak mungkin prajurit melakukan tindakan tanpa komando.
Sehingga ini sudah bukan lagi persoalan Poso, ini sudah menjadi persoalan negara. Institusi yang tidak bertanggung jawab di dalam mengelola pengamanan negara. Untuk itukah? Maka yang harus dituntut bukan hanya prajuritnya tetapi juga komandannya, termasuk Kapolda Sulawesi Tengah.

Ada apa di balik tindakan pengecut Brimob itu?
Untuk memperpanjang urusan. Agar isu terorisme tetap ada.

Mengapa begitu?
Supaya ada pekerjaan.
Bayangkan saja 500 orang aparat, satu kompi, sangat bisa mengejar dan menyergap penembak itu, namun tidak disergap. Malah kembali ke desa dan menangkapi warga yang tidak bersalah? Apakah tidak memperpanjang urusan namanya. Jadi saya tidak habis pikir, apa sih maunya aparat dalam menyelesaikan masalah ini?

Tindakan brutal ini tidak bisa diterima oleh masyarakat. Lantas, bagaimana polisi bisa menanamkan kepercayaan kepada masyarakat—kalau polisi pelindung masyarakat—bila  begitu caranya? Inikah cara polisi mendidik masyarakat? Jadi jangan heran kalau masyarakat akan balas dendam juga dengan melakukan tindakan kekerasan kepada polisi, karena polisi mendidik begitu.
Kemudian masyarakat yang menembak, dituduh lagi sebagai teroris, kemudian polisi salah tangkap lagi, main bunuh di tempat lagi, tidak akan selesai masalah. Polisi itu penegak hukum, bukan hukum! Kalau polisi bertindak tidak sesuai hukum, sama saja dengan penjajah ini!
Bila ditelusuri ke belakang, sebenarnya seperti apa sih awalnya kok Muslim Poso disebut teroris?
Kami tidak bisa menerima, kalau kami yang dulu membela hak-hak kami, kemudian dibilang teroris. Caranya Kristen dulu membunuh itu, jauh lebih sadis dari orang yang dituduh polisi teroris. Kalau kami menuntut hak kami, kami dibilang teroris, saya bilang Muslim Poso itu sudah dibikin babak belur oleh Kristen pada waktu itu. Tapi Kristen tidak dibilang teroris.
Sekian kompi pasukan datang dari Jakarta, bantuan-bantuan BKO dari tempat lain masuk ke Poso. Kasihan masyarakat yang tadinya damai, melihat aparat yang datang arogan-arogan seperti itu, resah masyarakat, pengamanan seperti apa itu?

Datang ke mari bukan menangkap teroris, tetapi masyarakat yang disiksa. Masyarakat tidak bisa kerja ke ladang, dihadang di tengah jalan, tidak boleh ke luar rumah. Padahal masyarakat bekerja hari ini untuk makan hari ini, siapa yang mau memberi masyarakat makan hari ini?
Menderita masyarakat, tidak ada kepedulian pemerintah terhadap hal ini. Sekali lagi, ini bukan masalah Poso lagi, ini masalah negara. Negara yang tidak bisa menangani masalah keamanan di daerah dengan profesional! Tidak berdasarkan undang-undang. Hanya mengikuti maunya sendiri, arogan! Yang terlihat di masyarakat, hanya menyakitkan masyarakat.

Orang Islam dituduh teroris tetapi mengapa Kristen tidak?
Itu lagunya Amerika, yang negara kita pakai. Padahal negara ini berdaulat, mampu menentukan nasibnya sendiri, jangan nurut-nurut saja ke Amerika. Masa, orang-orang Poso yang mengikuti majlis taklim disebut ada gejala-gejala teroris? Shalat berjamaah disebut gejala teroris? Ini namanya membonsai ajaran Islam. Umat ini mau jadi apa kalau tidak didakwahi, kalau tidak ada majlis taklim?
Jadi kalau kita mengikuti lagunya Amerika?
Sama juga dengan pelecehan terhadap agama Islam. Kalau Islam mengajarkan jihad ketika melawan penjajah, melawan kezaliman. Kalau tidak ada jihad, mau jadi apa kita ini? Kalau tidak ada jihad, kita jadi pengecut dalam beragama. Padahal jihad itu ajaran Islam yang murni. Kalau ada orang yang memelesetkan ajaran jihad, itu dosanya orang yang memelesetkan.
Tetapi orang yang memahami “jihad” yang sebenarnya, kok dipelesetkan jadi “teroris”? Itu orang sudah mengikuti lagunya Amerika! Amerika kan takut kalau melihat umat Islam berjihad! Lihat di Suriah, kezalimannya sudah luar biasa maka masyarakat bangkit berjihad. Takut Amerika itu!
Jadi kalau Amerika bilang “teroris, teroris, teroris,” jangan diikuti. Lagunya Amerika itu.

Inti masalah kasus 1998 itu apa?
Hanya persoalan anak-anak meminum minuman keras, berkelahi. Persoalannya, mengapa polisi tidak menyelesaikan perkelahian anak-anak yang minum minuman keras itu? ditangkap orang yang minum itu, malamnya dilepaskan. Anak-anak marah, karena orang yang minum itu sudah membacok remaja masjid. Karena tidak terima, maka anak-anak ini main hakim sendiri, dibakarlah rumah orang  yang membacok remaja masjid itu.
Persoalannya semakin kacau, karena umat Kristen sekabupaten kemudian menyerang ke kota. Sekabupaten, jelas tidak mungkin tanpa komando. Menurut saya, mabuk dan kemudian membacok itu merupakan skenario saja, karena mereka memang sudah berencana untuk menyerang.

Buktinya?
Polisi pun tidak menyelesaikan kasus pembacokan itu, malah kemudian setelah anak-anak terpancing, orang Kristen sekabupaten menyerang Kota Poso, menghabisi umat Islam.
Setelah kita berdamai, berkumpul antara tokoh Islam dan Kristen, tiba-tiba malamnya Kristen menyerang. Empat kali kita berdamai, empat kali mereka menyerang. Tidak bisa lagi ditolelir lagi pengkhianatan Kristen itu. Terpaksa saya serukan untuk berjihad!

Mengapa?
Umat Islam sudah dihabisi oleh mereka. Jawabannya tinggal jihad sekarang. Kezaliman yang seperti itu perlu adanya jihad karena polisi sudah tidak mampu mengamankan. Umat Islam dihanyutkan di sungai tanpa kepala, Muslimah disobek perutnya, diiris buah dadanya, ada juga Muslimah yang dipancangkan tombak di kemaluannya.

Bagaimana dengan TNI?
TNI hanya membiarkan mereka masuk, melihat dan membiarkan mereka menyerang umat Islam! Saya tanya pada komandan yang berjaga waktu itu, mengapa mereka dibiarkan masuk? Jawabannya, “karena tidak ada perintah dari atas.”  Lho, umat Islam sudah ratusan jadi korban, mereka tidak mau mengamankan? Ini namanya pembiaran.

Tapi kan akhirnya Tibo dan kedua temannya ditangkap dan dieksekusi mati?
Memang, mereka kan melakukan penyerangan, tetapikan bukan hanya Tibo cs. Ada 16 nama yang disebut Tibo di pengadilan yang merancang kerusuhan itu. Bahkan Tibo buat buku itu. Itu bisa dipertanggungjawabkan oleh pengacara Tibo cs.
Cuma anehnya, negara tidak mau mengambil sikap untuk mengusut yang 16 orang ini. katanya kalau dituntut lagi, itu bakal ribut. Ini tanggung jawab pejabat pemerintah sangat berat di Hari Kemudian karena tidak menyelesaikan masalah ini secara hukum.

Yang 16 orang itu siapa?
Pendeta dan pejabat pemerintah daerah waktu itu termasuk Yahya Patiro dan Limpadeli. Sampai sekarang ke-16 orang itu dibiarkan, tidak pernah dipanggil. Padahal banyak bukti dan testimoni dari saksi yang diberikan kepada satgas dari Jakarta waktu itu, Saut Nasution. Bahkan Saut mengatakan akan membawa berkas bukti dan kesaksian tersebut ke Jakarta untuk diproses, tetapi sampai detik ini tidak ada satu pun yang diproses.
Ada apa sebenarnya di belakang semua ini? Umat Islam terus ditekan, ditekan, ditekan dituduh teroris. Sedangkan Kristen dibiarkan, tidak disebut teroris. Itu bentuk ketidakadilan. Negara macam apa kok mengambil kebijakan semacam ini?
Share:

Cari Artikel Di Sini.

Advertice

loading...

Recent

Kitab AlHikam

WebAris.Id

Copyright © Irsyah Putra
Author by Healthy Life | Support by WebAris.Id